BinmasMitra Polisi

Wakapolres Batang Pimpin Upacara Hari Santri di Limpung

jateng.tribratanews.com, Batang Polda Jateng – Hari Santri harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhanaan, asketisme, dan spiritualisme yang melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya korupsi dan narkoba yang mengancam masa depan bangsa.

Hal tersebut disampaikan Wakapolres Batang Polda Jawa Tengah Kompol Hendri Yulianto, S.I.K., M.H., saat menjadi Irup Hari Santri Nasional di lapangan Desa Limpung, Minggu (22/10).

Ditambahkanya korupsi dan narkoba adalah turunan dari materialisme dan hedonisme. Singkatnya, santri harus siap mengemban amanah, yaitu amanah kalimatul haq. Berani mengatakan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua orang mengatakan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun semua orang mengatakan “iya”.

“Itulah karakter dasar santri yang bumi, langit dan gunung tidak berani memikulnya, dengan demikian marilah kita jaga bangsa kita dan tanah air kita,” tegasnya.

Menurutnya, Dibawah komando TNI dan POLRI mari kita bersama-sama ikut serta menjaga pertahanan, keamanan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam bingkai persatuan nasional, menghargai kebinekaan dan menjunjung tinggi semangat kebangsaan dalam wadah toleransi.

Sinergi Polri dan santri sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam rangka ikut serta menjaga kondusifitas, keamanan dan menjamin kenyamanan berbangsa menjadi sebuah keniscayaan, mengingat POLRI maupun TNI sangat terbatas jumlahnya.

“Untuk itu, moment hari santri benar-benar kita manfaatkan untuk memperkuat ikatan sipil militer sebagai komitmen bersama menjaga NKRI dari segala bentuk ancaman dan tekanan-tekanan dari manapun,” katanya.

Dijelaskan, Pada 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus Salâm. Pernyataan ini adalah legitimasi fiqih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila. Tahun 1945, kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia, Ir. Soekarno, sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak  DI/TII sebagai pemberontak yang harus diperangi.

Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional
Selepas Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa, —bukan negara agama, bukan negara suku— yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.

Kenyataan ini perlu diungkapkan untuk menginsyafkan semua pihak, termasuk kaum santri sendiri, tentang saham mereka yang besar dalam berdiri dan tegaknya NKRI.

“Tanpa kiprah kaum santri, dengan sikap-sikap sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan wajar (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis sampai sekarang,” tandasnya.

Ia menambahkan, Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak poranda karena ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan.

” Spirit “nasionalisme bagian dari iman” khubbul wathon minal iman” perlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme,” tuturnya.

Islam dan ajarannya tidak bisa dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas tanah air, karena itu agama harus bersanding dengan paham kebangsaan, imbuhnya.

Berita Terkait